MAKALAH
KE-PGRI-AN
ORGANISASI
PGRI PADA MASA ORDE BARU
Dosen
Pengampu: Soepoyo S.Pd
Disusun
oleh:
1. Anissa
Windari Septiani Putri
2. Dyah
Dwi Febriantina
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PGRI YOGYAKARTA
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
BAB I
PGRI SEJAK LAHIRNYA ORDE BARU
A.
Lahirnya
PGRI
Proklamasi 17
Agustus 1945 mempunyai efek sangat besar terhadap seluruh pejuang
kemerdekaan.pendiri Republik ini dan juga para guru pada kurun waktu pasca
tahun 1945. Semangat proklamasi itulah yang menjiwai penyelenggaraan Kongres
Pendidikan Bangsa pada tanggal 24-25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru
Putri (SGP) Surakarta, Jawa Tengah. Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wahana persatuan dan kesatuan segenap
guru diseluruh Indonesia. Pendiri PGRI adalah Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali
Marsaban, Djajeng Soegianto, Soemidi Adisasmito, Abdullah Noerbambang, dan
Soetono. Mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tujuan:
a. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik
Indonesia.
b. Mempertinggi tingkat pendidikan dan
pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
c. Membela hak dan nasib buruh umumnya,
guru pada khususnya.
PGRI lahir sebagai “anak sulung” dari
proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 yang memiliki sifat dan semangat yang
sama dengan “Ibu Kandungnya”, yaitu semangat persatuan dan kesatuan, pengorbanan
dan kepahlawanan untuk tentang penjajah. PGRI merupakan organisasi pelopor dan
pejuang karena itu para pendiri PGRI mengangkat semangat persatuan dan
kesatuan, tujuannya yaitu fungsi anggota PGRI sebagai pendidik bangsa bermaksud
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia
dari segi pendidikan.
B.
Kesatuan
Aksi Guru Indonesia (KAGI)
Bagi PGRI-Kongres, KAGI merupakan wahana
untuk menyatukan semua organisasi guru yang tadinya terkotak-kotak sebagai
produk politik Orde Lama. PGRI bersama-sama dengan Persatuan Guru NU, Ikatan
Guru Muhammadiyah, Ikatan Guru PSII (Serikat Islam Indonesia), Ikatan Guru
Marhaenis (PNI Osa-Usep), Persatuan Guru Kristen Indonesia, Persatuan Guru
Katholik Indonesia, Persatuan Guru Islam Indonesia, dan Persatuan Guru PERTI
membentuk KAGI. Khusus di Jawa Barat dibentuk KAPPP (Kesatuan Aksi Pembela
Pendidikan Pancasila) atau disebut juga “KAGI Edisi Jawa Barat”. KAGI pada
mulanya terbentuk di Jakarta Raya (KAGI Jaya) dan Jawa Barat (KAPPP), tetapi
kemudian berturut-turut terbentuk pula KAGI di berbagai provinsi lainnya. Tugas
utama KAGI adalah:
1. Membersihkan
dunia pendidikan Indonesia dari unsure-unsur PKI dan Orde Lama, yaitu PGRI
Non-Vaksentral/PKI, Serikat Sekerja Pendidikan, dan PGTI (Persatuan Guru Teknik
Indonesia)
2. Menyatukan
semua guru di dalam satu wadah orgaisasi guru, yaitu PGRI
3. Memperjuangkan
agar PGRI menjadi organisasi guru yang tidak hanya bersifat unitaristik, tetapi
juga independen dan non-partai politik.
Semula, Kongres XI PGRI direncanakan untuk diadakan pada tahun 1965,
namun sudah dua kali tertunda. Pertama, pada bulan November 1965 kongres tidak jadi dilaksanakan karena terjadinya peristiwa
G30-S/PKI. Kedua, pada bulan November 1966 kongres juga tidak jadi dilaksanakan
karena adanya “dualisme” dalam kepemimpinan nasional dan kehidupan politik di
Indonesia, yaitu Ir. Soekarno yang secara de
facto telah lumpuh kekuasaannya dengan Mayjen TNI Soeharto yang menjadi
Pejabat Presiden ketika itu. Para pendukung Orde Lama tidak mengakui kekuasaan
Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru, sebaliknya para pendukung Orde Baru tidak
lagi mengakui kekuasaan Ir. Soekarno. Disamping itu, pada saat bersamaan ada
anjuran dari pemerintah untuk tidak menyelenggarakan kongres sehubungan dengan
akan dilaksanakannya Sidang Umum MPRS 1966. Selama tahun 1966, PGRI praktis
disibukkan dengan tugas-tugas utama KAGI dan konsolidasi organisasi yang
dimulai pada awal tahun 1967 melalui persiapan Kongres “PGRI Orde Baru”
(Kongres XI) di Bandung.
Pada tanggal 15-20 Maret 1967 Kongres XI
akhirnya terlaksana dengan mengambil tempat di Gedung Bioskop Alun-Alun
Bandung. Dalam kongres itu terasa sekali suasana peralihan dari zaman Orde Lama
ke Orde Baru. Antara lain, masih terlihat sisa-sisa kekuatan Orde Lama yang
mencoba menguasai kembali kongres dengan cara menolak PGRI untuk masuk ke dalam
Sekber Golkar dan memojokkan M.E. Subiadinata dkk. agar tidak terpilih dalam PB
PGRI. Peranan utusan PGRI Jakarta Raya, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur sangat menonjol dalam mengarahkan
Kongres XI sebagai tonggak sejarah perjuangan PGRI pada era pasca-Orde Lama. Kejelasan
arah ini mulai tampak ketika sambutan Menteri P & K Ki Sarino Mangun
Pranoto yang masih berbau Orde Lama ditolak oleh kongres.
Bukti kberhasilan kekuatan Orde Baru
dalam kongres ini terlihat dari hasil-hasil kongres dibidang umum/politik dan
susunan PB PGRI Masa Bakti XI. Adapun hasil-hasil kongres XI di bidang umum dan
politik adalah sebagai berikut:
1. Memenangkan
perjuangan untuk menegakkan dan mengembangkan Orde Baru demi suksesnya Dwi
Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera.
2. Mendukung
sepenuhnya keputusan dan ketetapan Sidang Umum Istimewa MPRS 1966.
3. Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD
1945.
4. Menolak
Manifesto Politik (Manipol) sebagai Haluan Negara.
5. Menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
6. Semua
lembaga negara yang ekstra-konstitusional supaya segera dibubarkan.
7. Mengikis
habis sisa-sisa Gestapu/PKI dengan berpegang teguh kepada instruksi KOTI 22 dan
KOGAM 09.
8. PGRI
Non-Vaksentral/PKI, Serikat Sekerja Pendidikan, PGTI dinyatakan sebagai ormas
terlarang karena merupakan organisasi antek PKI.
9. Diaktifkannya
kebali 27 pejabat Kementrian P & K yang dipecat pleh menteri P & K,
Prof. Prijono, karena mereka mempertahankan pendidikan yang berdasarkan
Pancasila serta menolak Panca Cinta dan Panca Tinggi.
10. Disetujuinya
PGRI untuk bergabung dalam barisan Sekber Golkar.
11. PGRI
diwakili secara resmi dalam DPRGR/MPRS.
12. Front
Nasional dibubarkan.
13. PGRI
ditegaskan kembali sebagai organisasi yang bersifat unitaristik, independen, dan
non-partai politik.
Selanjutnya, hasil Kongres XI PGRI di bidang
organisasi antara lain:
1. Konsolidasi
dan pengembangan organisasi ke dalam dan ke luar untuk menciptakan kekompakan
pada seluruh potensi pendidikan.
2. Perubahan
dan penyempurnaan AD/ART PGRI yang sesuai dengan perkembangan politik Orde Baru.
3. Istilah
Panitera Umum diganti dengan Sekretaris Jendral, dan Panitera digani dengan
Sekretaris.
4. Perluasan
keanggotaan PGRI dari guru TK sampai dengan dosen perguruan Tinggi.
5. Penentuan
kriteria/persyaratan pengurus PGRI mulai tingkat Pengurus Besar, Pengurus
Daerah, Pengurus Cabang hingga Ranting.
6. Intensifikasi
penerangan tentang kegiatan organisasi melalui pers, radio, TV, dan majalah Suara Guru.
7. Pendidikan
kader organisasi secara teratur dan berencana.
8. KAGI
dapat berjalan terus selama masih diperlukan dalam menanggapi situasi
perjuangan Tritura-Ampera.
9. PGRI
menjadi anggota WCOTP (World
Confederation of Organzation of the Teaching Profession).
10. Menyatakan
PGRI siap untuk menjadi tuan rumah pelaksanaan Asian Regional Conference (ARC WCOTP).
C.
Konsolidasi
Organisasi pada Awal Orde Baru
Konsolidasi
organisasi PGRI dilakukan ke daerah-daerah dan cabang-cabang, dengan prioritas
ke daaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembenahan pada kedua daerah tersebut
tidak saja akibat kuatnya pengaruh PGRI Non-Vaksentral/PKI sebelumnya, tetapi
juga menyangkut masalah dualisme dalam kepemimpinan nasional. Ini bermula dari
zaman Orde Lama ketika politik menjadi panglima, sehingga banyak guru dan
pengurus PGRI harus memilih dan berlindung di bawah partai-partai politik yang
berkuasa pada waktu itu.
Kunjungan-kunjungan
PB PGRI secara intensif ke Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui Panglima Militer
setempat mutlak diperlukan. Utusan PB PGRI yang sering dikirim ke Jawa Tengah
dan Jawa Timur adalah M. E. Subiadinata (Ketua Umum PB PGRI), Slamet
(Sekretaris Kemasyarakatan/Kebudayaan), Drs. M. Rusli Yunus (Sekretaris
Sosial-Ekonomi), Drs. WDF Rindorindo (Sekretaris Pendidikan), dan T. Simbolon
(Sekretaris Penerangan/Humas). Hal ini dilakukan untuk menghimbau para pengurus
daerah yang masih merasa ragu-ragu agar mengerti aspirasi Orde Baru dan
menyadari bahwa sikap “kepala batu” mereka dapat menyebabkan PGRI dibekukan
atau dibubarkan oleh penguasa militer. Pembentukan KAGI di Jawa Timur dan Jawa
Tengah, antara lain untuk menyelamatkan kemelut politik pada waktu itu.
Hasilnya adalah Konfreda PGRI di kedua daerah tersebut berhasil memilih
Pengurus Daerah PGRI yang baru.
Sejak
selesainya Kongres XI, PB PGRI telah menghadiri Konfreda di 21 provinsi,
termasuk Irian Barat (sekarang Papua). Khususnya mengenai Irian Barat, sebelum
pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) atau Act of Free Choice tepatnya pada bulan Maret 1968, Kementrian Dalam
Negeri dan Kementrian P & K memberangkatkan utusan dengan tugas khusus untk
mengkonsolidasikan PGRI Irian Barat sebagai persiapan menghadapi Papera yang
akhirnya dimenangkan oleh rakyat yang pro-Republik Indonesia.
Dua
daerah di luar Jawa yang menghadapi masalah yang cukup serius pada masa
peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru adalah Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Kelompok yang tadinya menguasai PGRI di kedua daerah ini dengan segala upaya
berusaha bertahan menghadapi perkembangan baru di tanah air. Pada akhir tahun 1967,
dalam pertemuan sehari penuh di sekolah Don Bosco Padang, utusan PGRI/KAGI
se-Sumatera Barat mendapat informasi tentang perkembangan politik selama Orde
Baru dari Ketua Umum PGRI, M.E. Subiadinata. Setelah pertemuan itu dilakukan
serah terima jabatan Kepala Perwakilan P & K Provinsi Sumatera Barat di
kediaman Gubernur Sumatera Barat dengan disaksikan oleh Ketua Umum PB PGRI dan
Ketua Periodik KAGI Pusat. Peristiwa ini merupakan penyelamatan PGRI oleh
kekuatan Orde Baru di provinsi tersebut.
Hubungan
antara PGRI dengan organisasi guru di luaar negeri mulai dirintis kembali. Pada
bulan Juli 1966 PGRI secara resmi diterima menjadi anggota WCOTP dalam Kongres
Guru se-Dunia di Seoul, Korea Selatan. Hal ini merupakan era baru dalam
kehidupan PGRI. Sementara itu, pelaksanaan Asian
Regional Conference (ARC-WCOTP) di Jakarta pada bulan April 1969 menandai
untuk pertama kalinya PGRI (Indonesia) menjadi tan rumah konferensi
internasional organisasi guru. Panitia ARC-WCOTP diketuai oleh Slamet I dan
sekretaris H.M. Hidayat. Keberhasilan pelakanaan konferensi ini telah membuka
cakrawala baru dalam hubungan internasional PGRI.
Setelah
itu, PGRI diundang untuk mengikuti Trade
Union Leader Course di Negeri Belanda selama 4 bulan, dengan bantuan
Departemen Tenaga Kerja dan bekerjasama dengan Serikat Buruh Belanda. Kursus
ini diadakan dua angkatan, angkatan I pada tahun 1969 dan angkatan II tahun
1970. Melalui Drs. M. Rusli Yunus, PGRI diundang pula oleh IFFTU (The Iternational Federation of Free Teachers
Union) dan EEC (European Economic
Community), sekarang menjadi Uni Eropa (European
Union,EU), selama satu minggu di Brussel, Belgia, dan satu minggu di Jerman
Barat atas undangan dari FES (Frederich
Eiber Stiftungi)
D.
Arti
Lambang PGRI
Pada
tahun 10970, Kongres XII PGRI kembali digelar di Bandung yang memunculkan Basyumi
Suriamihardja untuk pertama kalinya memimpin PB PGRI yang bertahan lebh dari 25
tahun. Basyumi menjadi orang kedua yang paling lama memimpin PGRI setelah M.E.
Subiadinata. Adapun keputusan-keputusan penting dari kongres ini adalah sebagai
berikut:
1. Perubahan
struktur dan basis-basis organisasi PGRI, yaitu tingkat Cabang meliputi wilayah
kabupaten/kotamadya, sedangkan wilayah Anak Cabang adalah kecamatan.
2. Administrasi
organisasi disederhanakan dan diseragamkan untuk seluruh Indonesia.
3. Lambang
PGRI dan Mars PGRI dilampirkan dalam buku AD/ART PGRI.
4. Dalam
rangka peringatan 25 tahun PGRI (November 1970). PB PGRI hendaknya menerbitkan Buku Sejarah Perjuangan PGRI, yang juga
menegaskan sifat-sifat PGRI yang unitaristik, independen, dan non-partai
politik.
5. Memanfaatkan
keanggotaan PGRI dalam WCOTP untuk meningkatkan kerjasama internasional yang
berorientasi pada kepentingan nasional serta mengindahkan dengan
sungguh-sungguh politik bebas-aktif yang dianut oleh Indonesia.
6. Menyetujui
PGRI menjadi anggota IFFTU sepanjang tidak merugikan dan tidak mengurangi
identitas PGRI
7. Dalam
rangka kerjasama dengan negara-negara ASEAN, PGRI hendaknya memainkan peranan,
terutama dalam pembangunan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia
8. PB
PGRI hendaknya menetapkan pedoman tentang kebijaksanaan pengiriman
petugas-petugas PGRI ke luar negeri agar petugas/pengurus daerah dapat
memperoleh kesempatan.
Kongres XII PGRI tahun 1973 di Jakarta menetapkan
perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang organisasi, yaitu: berubahnya
sifat PGRI dari organisasi serikat pekerja menjadi organisasi profesi guru,
ditetapkannya Kode Etik Guru Indonesia, perubahan lambang dan panji organisasi
PGRI yang sesuai dengan organisasi profesi guru, dan adanya Dewan Pembina PGRI.
Mengenai arti lambang PGRI, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bentuk:
cakra/lingkaran melambangkan cita-cita luhur dan daya upaya menunaikan
pengabdian yang terus menerus
2. Ukuran,
corak, dan warna: bidang bagian pinggir lingkaran berwarna merah melambangkan
pengabdian yang dilandasi kemurnian dan keberanian bagi kepentingan rakyat.
Warna putih dengan tulisan “Persatuan Guru Republik Indonesia” melambangkan
pengabdian yang dilandasi kesucian dan kasih saying. Paduan warna pinggir
merah-putih melambangkan pengabdian kepada negara, bangsa dan tanah air
Indonesia.
3. Suluh
berdiri tegak bercorak 4 garis tegak dan datar berwarna kuning melambangkan
fungsi guru (pada pendidikan pra-sekolah, dasar, menengah dan perguruan tinggi)
dengan haikikat tugas pengabdianguru sebagai pendidik yang besar dan luhur.
4. Nyala
api dengan 5 sinar warna merah melambangkan arti ideologi Pancasila dan arti
teknis yakni sasaran budi pekerti, cipta, rasa, karsa dan karya generasi.
5. Empat
buku mengapit suluh dengan posisi 2 datar dan 2 tegak (simetris) dengan warna
corak putih melambangkan sumber ilmu yang menyangkut nilai-nilai moral,
pemgetahuan, keterampilan dan akhlak bagi tingkatan lembaga-lembaga pendidikan
pra-sekolah, dasar, menengah dan tinggi.
6. Warna
dasar tengah hijau melambangkan kemakmuran generasi.
Arti
keseluruhan: Guru Indonesia dengan itikad dan
kesadaran pengabdian yang murni dengan segala keberanian, keluhuran jiwa dan
kasih saying senantiasa menunaikan darma baktinya kepada negara, tanah air dan
bangsa Indonesia dalam mendidik budi pekerti, cipta, rasa, karsa, dan karya
generasi bangsa menjadi manusia Pancasila yang memiliki moral, pengetahuan,
keterampilan dan akhlak yang tinggi.
Penggunaan:
(1) sebagai lambang/lencana, (2) sebagai panji resmi dalam upacara dan panji
hiasan, (3) dipancangkan mendampingi bendera nasional merah-putih dalam
upacara/pertemuan organisasi atau pertemuan lainnya yang diselenggarakan oleh
PGRI.
E.
Berdirinya
YPLP-PGRI dan Wisma Guru
Kongres
XIV PGRI tanggal 26-30 Juni 1979 di Jakarta menghasilkan salah satu keputusan
penting yaitu mengenai pendirian Wisma Guru. Untuk mewujudkannya, mulai Januari
1980 setiap naggota PGRI dihimbau untuk menyumbang Rp 1.000. Direncanakan Wisma
Guru yang terletak di Jl. Tanah Abang III No. 24 Jakarta Pusat ini sekaligus
akan menjadi kantor PB PGRI yang dilengkapi dengan ruang pertemuan,
perpustakaan, kamar pondokan, dan sebagainya.
Dalam
rangka memenuhi tuntutan masyarakat yang makin meningkat untuk memperoleh
pendidikan, maka PGRI sejak awal berdirinya telah menyelenggarakan
sekolah-sekolah yang meliputi semua jenis dan jenjang pendidikan dan tersebar
di seluruh tanah air. Sebagian sekolah tesebut dijadikan sekolah negeri. Ada
diantara sekolah-sekolah PGRI yang didirikan atau diselenggarakan oleh Pengurus
PGRI provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan bahkan pribadi-pribadi warga PGRI.
Sampai dengan akhir tahun 1979, belum ada pembinaan yang terarah secara
nasional terhadap sekolah-sekolah tersebut, sehingga peraturan tentang
pengelolaan dan pembinaannya pun sangat beranea ragam. Keadaan ini bukan hanya
menyebabkan kurang efisien dan efektifnya pengelolaan sekolah-sekolah tersebut,
melainkan juga kadang-kadang merusak citra PGRI di tengah masyarakat.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kongres XIV memutuskan dan mnegaskan bahwa
pembinaan lembaga ppendidikan PGRI perlu dilakukan secara konsepsional,
nasional dan terkendali secara organisatoris. Keputusan ini diambil karena
sudah waktunya PGRI memberikan perhatian yang lebih serius terhadap pembinaan
lembaga pendidikannya.
Untuk
melaksanakan keputusan kongres, PB PGRI membentuk YPLP-PGRI dengan Akta Notaris
Moh. Ali No. 21 tanggal 31 Maret1980 yang berlaku surut sejak 1 Januari 1980.
Dengan surat Keputusan PB PGRI No. 951/SK/PB/XIV/1980 tanggal 10 Oktober 1980
diangkat Pengurus Pusat YPLP-PGRI yang pertama. Dalam surat keputusan tersebut
ditetapkan pula tugas pokok YPLP-PGRI, yaitu melakukan pembinaan, pengelolaan,
dan pengembangan lembaga pendidikan PGRI di seluruh Indonesia dan bertanggung
jawab langsung keada PB PGRI.
Untuk
menetapkan pola dan landasan organisatoris bagi pelaksaan tugas YPLP-PGRI, maka
diselenggarakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) YPLP-PGRI pertama tanggal
18-20 Mei 1981 di Jakarta. Mukernas dihadiri oleh Pengurus Dati I PGRI dan
yayasan-yayasan pendidikan PGRI yang sudah ada, di seluruh Indonesia. Mukernas
menghasilkan beberapa keputusan penting di antaranya : penyelenggaraan nama
Yayasan menjadi YPLP-PGRI, penetapan AD/ART YPLP-PGRI, penetapan pedoman
pembinaan lembaga pendidikan PGRI yang bersifat nasional.
Salah
satu karya besar PGRI pada Masa Bakti XV adalah berhasilnya pembangunan Gedung
Guru Indonesia (disebut juga Wisma Guru) di Jl. Tanah Abang III/24 Jakarta.
Keluarnya
Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan membawa
konsekuensi pada penyesuaian AD/ART PGRI yang antara lain menegaskan bahwa PGRI
merupakan organisasi profesi. Perubahan ini dilakukan melalui Konferensi Pusat
III Masa Bakti XV tahun 1986. Hikmh dan manfaat yang dapat diambi dari
ketetapan PGRI sebagai orgaisasi profesi adalah, pertama, medan perjuangan,
pengabdian dan kekaryaan anggota PGRI dapat makin ditingkatkan dan dimantapkan.
Kedua, upaya peningkatan mutu profesionalisme para anggota PGRI dapat makin
diperhatikan selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, dapat dipupuk rasa persatuan dan kesatuan yang makin kokoh diantara
para anggota PGRI sehingga organisasi ini dapat terhindar dari perpecahan
akibat tarik menarik antara berbagai kekuatan politik diluar organisasi, seperti
terjadi pada tahun 1950-an dan 1950-an.
F.
Refleksi
tentang Masa Depan PGRI
Setelah
mampu mengambil hikmah dari pengalaman selama kurun waktu lebih dari stengah
abad, PGRI secara berencana memikirkan kemungkinan arah perkembangannya dalam
kurun waktu 30 tahun mendatang. Selama ini, perjuangan PGRI sebgai organisasi
profesi guru tercermin dalam tiga bentuk. Pertama, perjuangan dalam bentuk
gagasan, nilai, norma, peraturan dan sejenisnya. Kedua, yang berwujud dalam
berbagai pola tindakan sesuai dengan tantangan zamanny. Ketiga, wujud
perjuangan professional sebagai identitas PGRI yang teruji dalam pasang-surut
peran yang diembannya dalam panggung sejarah Indonesia sejak tahun 1945.
Berdasarkan
pengamatan bertahun-tahun, tampak jelas bahwa PGRI seperti halnya organisasi
yang lainnya mempunyai pengalaman yang penting dalam rangka mensukseskan
strategi yang bersifat kuantitatif, dalam arti menggalang massa secara politis,
terutama waktu menjelang Pemilu. Dipihak lain, pelaksanaan dan perjuangan PGRI
yang mengarah pada strategi kualitatif terasa tersendat-sendat. Untuk masa kini
dan mendatang, PGRI perlu memikirkan, memilih, memutuskan, merencnakan,
melaksanakan dan mengevaluasi berbagai pola pokir, pola tindakan dan prestasi
yang diharapkan dalam rangka meningkatkan profesionalismenya dibidang
pendidikan pada umumnya dan keguruan pada khususnya.
Masa
depan menuntut semakin tingginya kualitas daripada semata-mata kuantitas
(jumlah anggota). PGRI sangat berpengalaman dalam melayani para anggotanya yang sebagian besar guru SD, sementara
peningkatan kualitas profesi diperlukan oleh para guru para semua jenis dan
jenjang pendidikan. Untuk itu, PGRI dituntut untuk lebih akbar dengan berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh para guru sekolah menengah, dan bahkan para
dosen di perguruan tinggi. Hal ini pada gilirannya akan berimplikasi pada
srategi pengembangan organisasi dan kepemimpinan PGRI yang bukan hanya
mengandalkan pola yang konvensional dengan titik berat pada aspek kuantitatif-massal seperti selama ini
dilakukan, melainkan harus diimbangi oleh pola strategi yang lebih bersifat
kualitatif.
Dalam
rangka melaksanakan strategi kualitatif tersebut, PGRI sangat perlu mengadakan
investasi secara berkelanjutan. Dalam kerangka ini, frekuensi dan kualitas
pertemuan antara para anggota PGRI di berbagai tingkat, tempat dan waktu harus
dituntut untuk semakin tinggi. Mutu pertemuan ini makin lama harus makin
bersifat pedagogis dan ilmiah sehingga PGRI menjadi suatu masyarakat ilmiah.
Ini juga berarti bahwa Kode Etik Guru Indonesia tidak hanya diucapkan, tetapi
juga berkembang dalam sikap, pola tindakan dan prestasi para anggota PGRI yang
makin profesional.
DAFTAR
PUSTAKA :
2.
M. Rusli Yunus, Drs, WDF Rindirindo, Drs, dkk. 2003. Perjalanan PGRI (1945-2003). Jakarta:
Pengurus Besar PGRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar