Sabtu, 28 Desember 2013

PGRI pada masa Orde Baru


MAKALAH KE-PGRI-AN
ORGANISASI PGRI PADA MASA ORDE BARU
Dosen Pengampu: Soepoyo S.Pd



Disusun oleh:
1.      Anissa Windari Septiani Putri
2.      Dyah Dwi Febriantina

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR





BAB I
PGRI SEJAK LAHIRNYA ORDE BARU

A.    Lahirnya PGRI
Proklamasi 17 Agustus 1945 mempunyai efek sangat besar terhadap seluruh pejuang kemerdekaan.pendiri Republik ini dan juga para guru pada kurun waktu pasca tahun 1945. Semangat proklamasi itulah yang menjiwai penyelenggaraan Kongres Pendidikan Bangsa pada tanggal 24-25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Putri (SGP) Surakarta, Jawa Tengah. Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wahana persatuan dan kesatuan segenap guru diseluruh Indonesia. Pendiri PGRI adalah Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng Soegianto, Soemidi Adisasmito, Abdullah Noerbambang, dan Soetono. Mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tujuan:
a.        Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
b.      Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
c.       Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
 PGRI lahir sebagai “anak sulung” dari proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 yang memiliki sifat dan semangat yang sama dengan “Ibu Kandungnya”, yaitu semangat persatuan dan kesatuan, pengorbanan dan kepahlawanan untuk tentang penjajah. PGRI merupakan organisasi pelopor dan pejuang karena itu para pendiri PGRI mengangkat semangat persatuan dan kesatuan, tujuannya yaitu fungsi anggota PGRI sebagai pendidik bangsa bermaksud mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia dari segi pendidikan.

B.     Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)
Bagi PGRI-Kongres, KAGI merupakan wahana untuk menyatukan semua organisasi guru yang tadinya terkotak-kotak sebagai produk politik Orde Lama. PGRI bersama-sama dengan Persatuan Guru NU, Ikatan Guru Muhammadiyah, Ikatan Guru PSII (Serikat Islam Indonesia), Ikatan Guru Marhaenis (PNI Osa-Usep), Persatuan Guru Kristen Indonesia, Persatuan Guru Katholik Indonesia, Persatuan Guru Islam Indonesia, dan Persatuan Guru PERTI membentuk KAGI. Khusus di Jawa Barat dibentuk KAPPP (Kesatuan Aksi Pembela Pendidikan Pancasila) atau disebut juga “KAGI Edisi Jawa Barat”. KAGI pada mulanya terbentuk di Jakarta Raya (KAGI Jaya) dan Jawa Barat (KAPPP), tetapi kemudian berturut-turut terbentuk pula KAGI di berbagai provinsi lainnya. Tugas utama KAGI adalah:
1.      Membersihkan dunia pendidikan Indonesia dari unsure-unsur PKI dan Orde Lama, yaitu PGRI Non-Vaksentral/PKI, Serikat Sekerja Pendidikan, dan PGTI (Persatuan Guru Teknik Indonesia)
2.      Menyatukan semua guru di dalam satu wadah orgaisasi guru, yaitu PGRI
3.      Memperjuangkan agar PGRI menjadi organisasi guru yang tidak hanya bersifat unitaristik, tetapi juga independen dan non-partai politik.
  Semula, Kongres XI PGRI direncanakan untuk diadakan pada tahun 1965, namun sudah dua kali tertunda. Pertama, pada bulan November 1965 kongres tidak  jadi dilaksanakan karena terjadinya peristiwa G30-S/PKI. Kedua, pada bulan November 1966 kongres juga tidak jadi dilaksanakan karena adanya “dualisme” dalam kepemimpinan nasional dan kehidupan politik di Indonesia, yaitu Ir. Soekarno yang secara de facto telah lumpuh kekuasaannya dengan Mayjen TNI Soeharto yang menjadi Pejabat Presiden ketika itu. Para pendukung Orde Lama tidak mengakui kekuasaan Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru, sebaliknya para pendukung Orde Baru tidak lagi mengakui kekuasaan Ir. Soekarno. Disamping itu, pada saat bersamaan ada anjuran dari pemerintah untuk tidak menyelenggarakan kongres sehubungan dengan akan dilaksanakannya Sidang Umum MPRS 1966. Selama tahun 1966, PGRI praktis disibukkan dengan tugas-tugas utama KAGI dan konsolidasi organisasi yang dimulai pada awal tahun 1967 melalui persiapan Kongres “PGRI Orde Baru” (Kongres XI) di Bandung.
Pada tanggal 15-20 Maret 1967 Kongres XI akhirnya terlaksana dengan mengambil tempat di Gedung Bioskop Alun-Alun Bandung. Dalam kongres itu terasa sekali suasana peralihan dari zaman Orde Lama ke Orde Baru. Antara lain, masih terlihat sisa-sisa kekuatan Orde Lama yang mencoba menguasai kembali kongres dengan cara menolak PGRI untuk masuk ke dalam Sekber Golkar dan memojokkan M.E. Subiadinata dkk. agar tidak terpilih dalam PB PGRI. Peranan utusan PGRI Jakarta Raya, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur sangat menonjol dalam mengarahkan Kongres XI sebagai tonggak sejarah perjuangan PGRI pada era pasca-Orde Lama. Kejelasan arah ini mulai tampak ketika sambutan Menteri P & K Ki Sarino Mangun Pranoto yang masih berbau Orde Lama ditolak oleh kongres.
Bukti kberhasilan kekuatan Orde Baru dalam kongres ini terlihat dari hasil-hasil kongres dibidang umum/politik dan susunan PB PGRI Masa Bakti XI. Adapun hasil-hasil kongres XI di bidang umum dan politik adalah sebagai berikut:


1.      Memenangkan perjuangan untuk menegakkan dan mengembangkan Orde Baru demi suksesnya Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera.
2.      Mendukung sepenuhnya keputusan dan ketetapan Sidang Umum Istimewa MPRS 1966.
3.      Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
4.      Menolak Manifesto Politik (Manipol) sebagai Haluan Negara.
5.      Menjunjung tinggi hak asasi manusia.
6.      Semua lembaga negara yang ekstra-konstitusional supaya segera dibubarkan.
7.      Mengikis habis sisa-sisa Gestapu/PKI dengan berpegang teguh kepada instruksi KOTI 22 dan KOGAM 09.
8.      PGRI Non-Vaksentral/PKI, Serikat Sekerja Pendidikan, PGTI dinyatakan sebagai ormas terlarang karena merupakan organisasi antek PKI.
9.      Diaktifkannya kebali 27 pejabat Kementrian P & K yang dipecat pleh menteri P & K, Prof. Prijono, karena mereka mempertahankan pendidikan yang berdasarkan Pancasila serta menolak Panca Cinta dan Panca Tinggi.
10.  Disetujuinya PGRI untuk bergabung dalam barisan Sekber Golkar.
11.  PGRI diwakili secara resmi dalam DPRGR/MPRS.
12.  Front Nasional dibubarkan.
13.  PGRI ditegaskan kembali sebagai organisasi yang bersifat unitaristik, independen, dan non-partai politik.


Selanjutnya, hasil Kongres XI PGRI di bidang organisasi antara lain:
1.      Konsolidasi dan pengembangan organisasi ke dalam dan ke luar untuk menciptakan kekompakan pada seluruh potensi pendidikan.
2.      Perubahan dan penyempurnaan AD/ART PGRI yang sesuai dengan perkembangan politik Orde Baru.
3.      Istilah Panitera Umum diganti dengan Sekretaris Jendral, dan Panitera digani dengan Sekretaris.
4.      Perluasan keanggotaan PGRI dari guru TK sampai dengan dosen perguruan Tinggi.
5.      Penentuan kriteria/persyaratan pengurus PGRI mulai tingkat Pengurus Besar, Pengurus Daerah, Pengurus Cabang hingga Ranting.
6.      Intensifikasi penerangan tentang kegiatan organisasi melalui pers, radio, TV, dan majalah Suara Guru.
7.      Pendidikan kader organisasi secara teratur dan berencana.
8.      KAGI dapat berjalan terus selama masih diperlukan dalam menanggapi situasi perjuangan Tritura-Ampera.
9.      PGRI menjadi anggota WCOTP (World Confederation of Organzation of the Teaching Profession).
10.  Menyatakan PGRI siap untuk menjadi tuan rumah pelaksanaan Asian Regional Conference (ARC WCOTP).

C.    Konsolidasi Organisasi pada Awal Orde Baru
Konsolidasi organisasi PGRI dilakukan ke daerah-daerah dan cabang-cabang, dengan prioritas ke daaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembenahan pada kedua daerah tersebut tidak saja akibat kuatnya pengaruh PGRI Non-Vaksentral/PKI sebelumnya, tetapi juga menyangkut masalah dualisme dalam kepemimpinan nasional. Ini bermula dari zaman Orde Lama ketika politik menjadi panglima, sehingga banyak guru dan pengurus PGRI harus memilih dan berlindung di bawah partai-partai politik yang berkuasa pada waktu itu.
Kunjungan-kunjungan PB PGRI secara intensif ke Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui Panglima Militer setempat mutlak diperlukan. Utusan PB PGRI yang sering dikirim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah M. E. Subiadinata (Ketua Umum PB PGRI), Slamet (Sekretaris Kemasyarakatan/Kebudayaan), Drs. M. Rusli Yunus (Sekretaris Sosial-Ekonomi), Drs. WDF Rindorindo (Sekretaris Pendidikan), dan T. Simbolon (Sekretaris Penerangan/Humas). Hal ini dilakukan untuk menghimbau para pengurus daerah yang masih merasa ragu-ragu agar mengerti aspirasi Orde Baru dan menyadari bahwa sikap “kepala batu” mereka dapat menyebabkan PGRI dibekukan atau dibubarkan oleh penguasa militer. Pembentukan KAGI di Jawa Timur dan Jawa Tengah, antara lain untuk menyelamatkan kemelut politik pada waktu itu. Hasilnya adalah Konfreda PGRI di kedua daerah tersebut berhasil memilih Pengurus Daerah PGRI yang baru.
Sejak selesainya Kongres XI, PB PGRI telah menghadiri Konfreda di 21 provinsi, termasuk Irian Barat (sekarang Papua). Khususnya mengenai Irian Barat, sebelum pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) atau Act of Free Choice tepatnya pada bulan Maret 1968, Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian P & K memberangkatkan utusan dengan tugas khusus untk mengkonsolidasikan PGRI Irian Barat sebagai persiapan menghadapi Papera yang akhirnya dimenangkan oleh rakyat yang pro-Republik Indonesia.
Dua daerah di luar Jawa yang menghadapi masalah yang cukup serius pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru adalah Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Kelompok yang tadinya menguasai PGRI di kedua daerah ini dengan segala upaya berusaha bertahan menghadapi perkembangan baru di tanah air. Pada akhir tahun 1967, dalam pertemuan sehari penuh di sekolah Don Bosco Padang, utusan PGRI/KAGI se-Sumatera Barat mendapat informasi tentang perkembangan politik selama Orde Baru dari Ketua Umum PGRI, M.E. Subiadinata. Setelah pertemuan itu dilakukan serah terima jabatan Kepala Perwakilan P & K Provinsi Sumatera Barat di kediaman Gubernur Sumatera Barat dengan disaksikan oleh Ketua Umum PB PGRI dan Ketua Periodik KAGI Pusat. Peristiwa ini merupakan penyelamatan PGRI oleh kekuatan Orde Baru di provinsi tersebut.
Hubungan antara PGRI dengan organisasi guru di luaar negeri mulai dirintis kembali. Pada bulan Juli 1966 PGRI secara resmi diterima menjadi anggota WCOTP dalam Kongres Guru se-Dunia di Seoul, Korea Selatan. Hal ini merupakan era baru dalam kehidupan PGRI. Sementara itu, pelaksanaan Asian Regional Conference (ARC-WCOTP) di Jakarta pada bulan April 1969 menandai untuk pertama kalinya PGRI (Indonesia) menjadi tan rumah konferensi internasional organisasi guru. Panitia ARC-WCOTP diketuai oleh Slamet I dan sekretaris H.M. Hidayat. Keberhasilan pelakanaan konferensi ini telah membuka cakrawala baru dalam hubungan internasional PGRI.
Setelah itu, PGRI diundang untuk mengikuti Trade Union Leader Course di Negeri Belanda selama 4 bulan, dengan bantuan Departemen Tenaga Kerja dan bekerjasama dengan Serikat Buruh Belanda. Kursus ini diadakan dua angkatan, angkatan I pada tahun 1969 dan angkatan II tahun 1970. Melalui Drs. M. Rusli Yunus, PGRI diundang pula oleh IFFTU (The Iternational Federation of Free Teachers Union) dan EEC (European Economic Community), sekarang menjadi Uni Eropa (European Union,EU), selama satu minggu di Brussel, Belgia, dan satu minggu di Jerman Barat atas undangan dari FES (Frederich Eiber Stiftungi)

D.    Arti Lambang PGRI
Pada tahun 10970, Kongres XII PGRI kembali digelar di Bandung yang memunculkan Basyumi Suriamihardja untuk pertama kalinya memimpin PB PGRI yang bertahan lebh dari 25 tahun. Basyumi menjadi orang kedua yang paling lama memimpin PGRI setelah M.E. Subiadinata. Adapun keputusan-keputusan penting dari kongres ini adalah sebagai berikut:
1.      Perubahan struktur dan basis-basis organisasi PGRI, yaitu tingkat Cabang meliputi wilayah kabupaten/kotamadya, sedangkan wilayah Anak Cabang adalah kecamatan.
2.      Administrasi organisasi disederhanakan dan diseragamkan untuk seluruh Indonesia.
3.      Lambang PGRI dan Mars PGRI dilampirkan dalam buku AD/ART PGRI.
4.      Dalam rangka peringatan 25 tahun PGRI (November 1970). PB PGRI hendaknya menerbitkan Buku Sejarah Perjuangan PGRI, yang juga menegaskan sifat-sifat PGRI yang unitaristik, independen, dan non-partai politik.
5.      Memanfaatkan keanggotaan PGRI dalam WCOTP untuk meningkatkan kerjasama internasional yang berorientasi pada kepentingan nasional serta mengindahkan dengan sungguh-sungguh politik bebas-aktif yang dianut oleh Indonesia.
6.      Menyetujui PGRI menjadi anggota IFFTU sepanjang tidak merugikan dan tidak mengurangi identitas PGRI
7.      Dalam rangka kerjasama dengan negara-negara ASEAN, PGRI hendaknya memainkan peranan, terutama dalam pembangunan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia
8.      PB PGRI hendaknya menetapkan pedoman tentang kebijaksanaan pengiriman petugas-petugas PGRI ke luar negeri agar petugas/pengurus daerah dapat memperoleh kesempatan.

Kongres XII PGRI tahun 1973 di Jakarta menetapkan perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang organisasi, yaitu: berubahnya sifat PGRI dari organisasi serikat pekerja menjadi organisasi profesi guru, ditetapkannya Kode Etik Guru Indonesia, perubahan lambang dan panji organisasi PGRI yang sesuai dengan organisasi profesi guru, dan adanya Dewan Pembina PGRI. Mengenai arti lambang PGRI, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Bentuk: cakra/lingkaran melambangkan cita-cita luhur dan daya upaya menunaikan pengabdian yang terus menerus
2.      Ukuran, corak, dan warna: bidang bagian pinggir lingkaran berwarna merah melambangkan pengabdian yang dilandasi kemurnian dan keberanian bagi kepentingan rakyat. Warna putih dengan tulisan “Persatuan Guru Republik Indonesia” melambangkan pengabdian yang dilandasi kesucian dan kasih saying. Paduan warna pinggir merah-putih melambangkan pengabdian kepada negara, bangsa dan tanah air Indonesia.
3.      Suluh berdiri tegak bercorak 4 garis tegak dan datar berwarna kuning melambangkan fungsi guru (pada pendidikan pra-sekolah, dasar, menengah dan perguruan tinggi) dengan haikikat tugas pengabdianguru sebagai pendidik yang besar dan luhur.
4.      Nyala api dengan 5 sinar warna merah melambangkan arti ideologi Pancasila dan arti teknis yakni sasaran budi pekerti, cipta, rasa, karsa dan karya generasi.
5.      Empat buku mengapit suluh dengan posisi 2 datar dan 2 tegak (simetris) dengan warna corak putih melambangkan sumber ilmu yang menyangkut nilai-nilai moral, pemgetahuan, keterampilan dan akhlak bagi tingkatan lembaga-lembaga pendidikan pra-sekolah, dasar, menengah dan tinggi.
6.      Warna dasar tengah hijau melambangkan kemakmuran generasi.
Arti keseluruhan: Guru Indonesia dengan itikad dan kesadaran pengabdian yang murni dengan segala keberanian, keluhuran jiwa dan kasih saying senantiasa menunaikan darma baktinya kepada negara, tanah air dan bangsa Indonesia dalam mendidik budi pekerti, cipta, rasa, karsa, dan karya generasi bangsa menjadi manusia Pancasila yang memiliki moral, pengetahuan, keterampilan dan akhlak yang tinggi.
Penggunaan: (1) sebagai lambang/lencana, (2) sebagai panji resmi dalam upacara dan panji hiasan, (3) dipancangkan mendampingi bendera nasional merah-putih dalam upacara/pertemuan organisasi atau pertemuan lainnya yang diselenggarakan oleh PGRI.

E.     Berdirinya YPLP-PGRI dan Wisma Guru
Kongres XIV PGRI tanggal 26-30 Juni 1979 di Jakarta menghasilkan salah satu keputusan penting yaitu mengenai pendirian Wisma Guru. Untuk mewujudkannya, mulai Januari 1980 setiap naggota PGRI dihimbau untuk menyumbang Rp 1.000. Direncanakan Wisma Guru yang terletak di Jl. Tanah Abang III No. 24 Jakarta Pusat ini sekaligus akan menjadi kantor PB PGRI yang dilengkapi dengan ruang pertemuan, perpustakaan, kamar pondokan, dan sebagainya.
Dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat yang makin meningkat untuk memperoleh pendidikan, maka PGRI sejak awal berdirinya telah menyelenggarakan sekolah-sekolah yang meliputi semua jenis dan jenjang pendidikan dan tersebar di seluruh tanah air. Sebagian sekolah tesebut dijadikan sekolah negeri. Ada diantara sekolah-sekolah PGRI yang didirikan atau diselenggarakan oleh Pengurus PGRI provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan bahkan pribadi-pribadi warga PGRI. Sampai dengan akhir tahun 1979, belum ada pembinaan yang terarah secara nasional terhadap sekolah-sekolah tersebut, sehingga peraturan tentang pengelolaan dan pembinaannya pun sangat beranea ragam. Keadaan ini bukan hanya menyebabkan kurang efisien dan efektifnya pengelolaan sekolah-sekolah tersebut, melainkan juga kadang-kadang merusak citra PGRI di tengah masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kongres XIV memutuskan dan mnegaskan bahwa pembinaan lembaga ppendidikan PGRI perlu dilakukan secara konsepsional, nasional dan terkendali secara organisatoris. Keputusan ini diambil karena sudah waktunya PGRI memberikan perhatian yang lebih serius terhadap pembinaan lembaga pendidikannya.
Untuk melaksanakan keputusan kongres, PB PGRI membentuk YPLP-PGRI dengan Akta Notaris Moh. Ali No. 21 tanggal 31 Maret1980 yang berlaku surut sejak 1 Januari 1980. Dengan surat Keputusan PB PGRI No. 951/SK/PB/XIV/1980 tanggal 10 Oktober 1980 diangkat Pengurus Pusat YPLP-PGRI yang pertama. Dalam surat keputusan tersebut ditetapkan pula tugas pokok YPLP-PGRI, yaitu melakukan pembinaan, pengelolaan, dan pengembangan lembaga pendidikan PGRI di seluruh Indonesia dan bertanggung jawab langsung keada PB PGRI.
Untuk menetapkan pola dan landasan organisatoris bagi pelaksaan tugas YPLP-PGRI, maka diselenggarakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) YPLP-PGRI pertama tanggal 18-20 Mei 1981 di Jakarta. Mukernas dihadiri oleh Pengurus Dati I PGRI dan yayasan-yayasan pendidikan PGRI yang sudah ada, di seluruh Indonesia. Mukernas menghasilkan beberapa keputusan penting di antaranya : penyelenggaraan nama Yayasan menjadi YPLP-PGRI, penetapan AD/ART YPLP-PGRI, penetapan pedoman pembinaan lembaga pendidikan PGRI yang bersifat nasional.
Salah satu karya besar PGRI pada Masa Bakti XV adalah berhasilnya pembangunan Gedung Guru Indonesia (disebut juga Wisma Guru) di Jl. Tanah Abang III/24 Jakarta.
Keluarnya Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan membawa konsekuensi pada penyesuaian AD/ART PGRI yang antara lain menegaskan bahwa PGRI merupakan organisasi profesi. Perubahan ini dilakukan melalui Konferensi Pusat III Masa Bakti XV tahun 1986. Hikmh dan manfaat yang dapat diambi dari ketetapan PGRI sebagai orgaisasi profesi adalah, pertama, medan perjuangan, pengabdian dan kekaryaan anggota PGRI dapat makin ditingkatkan dan dimantapkan. Kedua, upaya peningkatan mutu profesionalisme para anggota PGRI dapat makin diperhatikan selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, dapat dipupuk rasa persatuan dan kesatuan yang makin kokoh diantara para anggota PGRI sehingga organisasi ini dapat terhindar dari perpecahan akibat tarik menarik antara berbagai kekuatan politik diluar organisasi, seperti terjadi pada tahun 1950-an dan 1950-an.

F.     Refleksi tentang Masa Depan PGRI
Setelah mampu mengambil hikmah dari pengalaman selama kurun waktu lebih dari stengah abad, PGRI secara berencana memikirkan kemungkinan arah perkembangannya dalam kurun waktu 30 tahun mendatang. Selama ini, perjuangan PGRI sebgai organisasi profesi guru tercermin dalam tiga bentuk. Pertama, perjuangan dalam bentuk gagasan, nilai, norma, peraturan dan sejenisnya. Kedua, yang berwujud dalam berbagai pola tindakan sesuai dengan tantangan zamanny. Ketiga, wujud perjuangan professional sebagai identitas PGRI yang teruji dalam pasang-surut peran yang diembannya dalam panggung sejarah Indonesia sejak tahun 1945.
Berdasarkan pengamatan bertahun-tahun, tampak jelas bahwa PGRI seperti halnya organisasi yang lainnya mempunyai pengalaman yang penting dalam rangka mensukseskan strategi yang bersifat kuantitatif, dalam arti menggalang massa secara politis, terutama waktu menjelang Pemilu. Dipihak lain, pelaksanaan dan perjuangan PGRI yang mengarah pada strategi kualitatif terasa tersendat-sendat. Untuk masa kini dan mendatang, PGRI perlu memikirkan, memilih, memutuskan, merencnakan, melaksanakan dan mengevaluasi berbagai pola pokir, pola tindakan dan prestasi yang diharapkan dalam rangka meningkatkan profesionalismenya dibidang pendidikan pada umumnya dan keguruan pada khususnya.
Masa depan menuntut semakin tingginya kualitas daripada semata-mata kuantitas (jumlah anggota). PGRI sangat berpengalaman dalam melayani para anggotanya yang sebagian besar guru SD, sementara peningkatan kualitas profesi diperlukan oleh para guru para semua jenis dan jenjang pendidikan. Untuk itu, PGRI dituntut untuk lebih akbar dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para guru sekolah menengah, dan bahkan para dosen di perguruan tinggi. Hal ini pada gilirannya akan berimplikasi pada srategi pengembangan organisasi dan kepemimpinan PGRI yang bukan hanya mengandalkan pola yang konvensional dengan titik berat pada  aspek kuantitatif-massal seperti selama ini dilakukan, melainkan harus diimbangi oleh pola strategi yang lebih bersifat kualitatif.
Dalam rangka melaksanakan strategi kualitatif tersebut, PGRI sangat perlu mengadakan investasi secara berkelanjutan. Dalam kerangka ini, frekuensi dan kualitas pertemuan antara para anggota PGRI di berbagai tingkat, tempat dan waktu harus dituntut untuk semakin tinggi. Mutu pertemuan ini makin lama harus makin bersifat pedagogis dan ilmiah sehingga PGRI menjadi suatu masyarakat ilmiah. Ini juga berarti bahwa Kode Etik Guru Indonesia tidak hanya diucapkan, tetapi juga berkembang dalam sikap, pola tindakan dan prestasi para anggota PGRI yang makin profesional.



DAFTAR PUSTAKA :
2.      M. Rusli Yunus, Drs, WDF Rindirindo, Drs, dkk. 2003. Perjalanan PGRI (1945-2003). Jakarta: Pengurus Besar PGRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar